Bagaimana Seharusnya Menerapkan PPN Tanggung Renteng ?

Mengenai penerapan tanggung renteng, dalam prakteknya banyak sekali ditemukan permasalahan,   mungkin hal ini dikarenakan dari awal sudah banyak menimbulkan perdebatan, baik di kalangan akademisi maupun praktisi perpajakan. Keberadaan pasalnya sendiri menimbulkan pro dan kontra, apalagi bagaimana pasal itu diterapkan. Meski demikian, faktanya pasal mengenai tanggung renteng ini masih berlaku hingga hari ini. Maka persoalannya adalah bagaimana pasal itu bisa diterapkan secara benar agar tidak menimbulkan kerugian di wajib pajak ataupun negara.

Ketentuan mengenai tanggung renteng ini sebenarnya sudah ada sejak UU Pajak Penjualan, yaitu di Padal 7 UU Darurat 1951. Pada saat tax reform, pasal itu kemudian diadopsi dalam Pasal 33 UU No. 6 Tahun 1983 (KUP), kemudian mengalami perubahan redaksional di UU No.16 Tahun 2000 (Perubahan KUP kedua). Selanjutnya di perubahan KUP yang ketiga (UU No.28 Tahun 2007), pasal mengenai tanggung renteng ini dihapus. Anehnya pasal ini kemudian muncul kembali di UU No.42 Tahun 2009 (perubahan ketiga UU PPN) yang berlaku hingga sekarang, yaitu di Pasal 16F. Di klaster perpajakan UU No.11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja tidak ada melakukan perubahan atas Pasal 16F tersebut.

Pasal 16F UU PPN:

Pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran pajak, sepanjang tidak dapat menunjukkan bukti bahwa Pajak telah dibayar.

Penjelasan:
Sesuai dengan prinsip beban pembayaran pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah pada pembeli atau konsumen barang atau penerima jasa. Oleh karena itu sudah seharusnya apabila pembeli atau konsumen barang dan penerima jasa bertanggung jawab renteng atas pembayaran pajak yang terutang apabilan ternyata bahwa pajak yang terutang tersebut tidak dapat ditagih kepada penjual atau pemberi jasa dan pembeli atau penerima jasa tidak dapat menunjukkan bukti telah melakukan pembayaran pajak kepada penjual atau pemberi jasa.

Berdasarkan pasal itu, untuk dapat mengenakan PPN tanggung renteng kepada pembeli, maka harus memenuhi beberapa syarat. Syarat pokok atau utamanya adalah bahwa transaksi tersebut merupakan transaksi yang terutang PPN. Syarat terutangnya PPN yang terkait dengan PPN tanggung renteng hanya terbatas pada Pasal 4(1) huruf a dan c UU PPN jo Pasal 1 Ayat (1) 197/PMK.03/2013 tentang Batasan Pengusaha Kecil, dan pasal 16D UU PPN

Kemudian ada dua syarat kondisional, yaitu (1) pajak yang terutang tersebut tidak dapat ditagih kepada penjual atau pemberi jasa dan, (2) pembeli atau penerima jasa tidak dapat menunjukkan bukti telah melakukan pembayaran pajak kepada penjual atau pemberi jasa. Kedua syarat kondisional ini bersifat kumulatif, artinya PPN tanggung renteng bisa diterapkan apabila memenuhi kedua syarat tersebut. Yang menjadi persoalan adalah tidak adanya penjabaran mengenai kedua kondisi itu. Apa yang dimaksud kondisi “tidak dapat ditagih”, dan apa pula yang dimaksud “tidak dapat menunjukkan bukti telah melakukan pembayaran”.

Dalam penerapan PPN Tanggung Renteng ini seharusnya DJP mengedepankan prinsip kehati-hatian sehingga tidak menimbulkan pembayaran pajak berganda. Sebelum menerapkan PPN Tanggung Renteng kepada pembeli ada baiknya DJP memaksimalkan mengejar kepada penjualan dahulu, ada beberapa kasus secara sistem penjual terlihat tidak membayar PPN atas fakturnya akan tetapi setelah ditelusuri ternyata wajib pajak penjual tersebut sudah dilakukan pemeriksaan dan terhadap faktur pajak tersebut sudah dibayar pajaknya melalui produk surat ketetapan pajak, kalau hal seperti ini tidak diperhatikan maka potensi pembayaran pajak berganda akan sangat mungkin terjadi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Open chat