Debt Equity Ratio (DER) Menurut Pajak
Dengan kondisi pandemi saat ini banyak perusahaan yang membutuhkan pinjaman agar perusahaannya bisa tetap terus berjalan, pinjaman tersebut hampir pasti ada bunganya, didalam peraturan perpajakan indonesia mengenai besaran bunga yang boleh dibiayakan itu dibatasi jadi belum tentu semua bunga pinjaman tersebut boleh dibiayakan dalam rangka menghitung penghasilan kena pajak.
Biaya bunga kadang kalah menjadi salah satu cara untuk perusahaan melakukan tax avoidance (penghindaran pajak), oleh karena itu ada ketentuan yang membatasi biaya bunga dengan cara membatasi utang terhadap modal (debt equity ratio). Berikut ketentuan debt equity ratio (DER) menurut pajak.
Undang-undang PPh telah memberikan kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk membuat aturan tentang DER. Hal ini diatur di Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang PPh yaitu:
Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan penghitungan pajak berdasarkan Undang-undang ini.
Kewenangan mengatur DER ini pernah dilaksanakan tahun 1985. DER pertama kali diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1002/KMK.04/1984. Keputusan ini menetapkandebt equity ratio setinggi-tingginya tiga dibanding satu (3 : 1), akan tetapi ketentuan DER ini tahun berikutnya ditunda pelaksanaannya dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 254/KMK.01/1985.
Pada tahun 2015 baru kemudian ditentukan kembali berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 169/PMK.010/2015. Aturan ini membatasi DER setinggi-tingginya empat dibanding satu (4 : 1), aturan DER tahun 2015 ini memberikan pengeculian bagi :
- Wajib Pajak bank;
- Wajib Pajak lembaga pembiayaan;
- Wajib Pajak asuransi dan reasuransi;
- Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan umum, dan pertambangan lainnya yang terikat kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan, dan dalam kontrak atau perjanjian dimaksud mengatur atau mencantumkan ketentuan mengenai batasan perbandingan antara utang dan modal; dan
- Wajib Pajak yang atas seluruh penghasilannya dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan peraturan perundang-undangan tersendiri; dan
- Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang infrastruktur.
Artinya, Wajib Pajak yang disebutkan diatas tidak terkena ketentuan DER. Masih bebas seperti sebelum terbitnya Peraturan Menteri Keuangan nomor 169/PMK.010/2015.
Bagi Wajib Pajak di bidang pertambangan dan gas bumi, pertambangan umum, dan pertambangan lainnya yang dalam kontrak atau perjanjian tidak mengatur DER, maka berlaku ketentuan DER 4:1
Mengenai pelaksanaan DER ini dilanjutkan dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-25/PJ/2017 Tentang Pelaksanaan Penentuan Besarnya Perbandingan Antara Utang Dan Modal Perusahaan Untuk Keperluan Penghitungan Pajak Penghasilan Dan Tata Cara Pelaporan Utang Swasta Luar Negeri, dalam pasal 7 dinyatakan :
Ayat (1)
Wajib Pajak Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia yang modalnya terbagi atas saham-saham yang memiliki utang dan mengurangkan biaya pinjaman dalam penghitungan penghasilan kena pajak wajib menyampaikan laporan penghitungan besarnya Perbandingan Antara Utang dan Modal sebagai lampiran SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan.
Ayat (4)
Format laporan penghitungan besarnya Perbandingan Antara Utang dan Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta petunjuk pengisiannya adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
Kemudian dilanjutkan dengan Pasal 8 dinyatakan bahwa Kewajiban penerapan ketentuan besarnya Perbandingan Antara Utang dan Modal mulai berlaku sejak Tahun Pajak 2016, selanjutnya Kewajiban penyampaian laporan penghitungan besarnya Perbandingan Antara Utang dan Modal dan laporan utang swasta luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) mulai berlaku sejak Tahun Pajak 2017.